Kamis, 18 Juni 2015

Sejarah Vihara Budha Dharma Kota Bekasi

                     

 

 
foto vihara tampak depan gerbang

 

                          Sejarah pembangunan vihara budha dharma ini di resmikan pada tanggal 17 desember 1998, atau dalam tahun budha (imlek cap gwe djiwe kaw 2549) yang dinaungi oleh yayasan pancaran tri dharma.vihara ini didirikan guna untuk peribadatan jama'ah umat agama budha yang ada dibekasi. 

 
foto vihara tampak sebelum masuk, di pintu

  selain itu karna luang lingkupnya tri dharma maka ada peribadatan seperti agama konghucu (klenteng) dan agama tao. 

 
 foto legalitas bagunan 

peresmian bangunan ini di tanda tangani oleh ketua pak jandi. pada saya kunjungan ini saya di temani dan di ajak kedalam bersama bang cahyadi selaku salah satu pengurus persatuan remaja di vihara tersebut.  papar beliau ketika saya berbincang bincang, vihara ini sudah banyak melakukan kegiatan di kota bekasi sendiri maupun di luar.

                        mungkin hanya ini yang bisa kami paparkan. terimakasih. jika ada keliruan mohon dikoreksi,

                                                          foto bersama bang cahyadi


Sejarah Pura Eka Wina Anantha di serang


http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=929
Pura yang berada di Kesatrian Gatot Subroto Grup I Kopassus, Taman Serang Provonsi Banten ini sangat mudah dijangkau dari Jakarta maupun dari tempat lainnya. Lokasi pura tidak jauh dari Jalan Tol Jakarta Merak, tepatnya setelah keluar tol Serang Barat kira-kira 100 meter terdapat persimpangan, kekiri menuju kota Serang dan kekanan Cilegon. Ambil jalan lurus atau masuk Gerbang Kesatrian Gatot Subroto (Komplek Kopassus). Tempek Utan Kayu, Banjar Jakarta Timur, Minggu 3 Juli 2005 melaksanakan Tirtayatra disana.
     Pura dengan luas 55x109 meter yang berlokasi di Kesatrian Gatot Subroto ini berada di lahan yang sangat luas sekali, pembangunannya diawali pada tahun 1984 kendatipun kondisi umat Hindu masih dapat dihitung dalam hitungan jari. Umat Hindu yang berdomisili tersebar dibeberapa lokasi seperti sekitar Cilegon, Serang, Pandeglang dan Rangkas Bitung.
Pure Eka Wira Ananta Serang, termasuk katagori Pure Jagatnatha. yang terdiri dari Trimandala (Bhur, Bwuah, Swah). Perhiyangan, pelemahan, pawongan.    Indik Luas denah Pura Serang hampir 1 ha. merupakan, tempat parkir bisa menampung lebih dari 100 kedaraan pribadi, Pura yang terbesar diwilayah Banten, Lokasi sangat mudah dijangkau, hanya satu jam dari Jakarta dan +/- 1 km dari gate Tol Serang barat.
  Di Utama Mandala, yang merupakan area tersuci dari pura terdapat Padmasana, Bale Pelik, Ngrurah, Taksu, Bale Pewedaan, Gedong Penyimpenan, serta Taman Sari. Sejalan dengan perjalanan waktu, renovasi pura baik secara niskala maupun sekala terus dilakukan. Renovasi terhadap pura ini dilakukan secara bersama-sama oleh umat Hindu di wilayah Kabupaten Serang, Cilegon, Pandeglang, maupun Lebak.
Pure ini juga adalah salah satu pure yang ada di serang-Banten. Monggoh berkunjung k pureTerbesar di Banten dan rasakan sensasi kehangatan dan keramahaannya.

vidio vidio upacara agama budha


video-video upacara agama hindu

sumber : www.youtube.com

Rabu, 17 Juni 2015

E-Book Hindu- Budha

ebook Agama Hindu:
1. Samaweda sedot disini gan
2. Yajurweda sedot disini gan
3. Atharwaweda sedot disini gan
4. Weda Mitologi sedot disini gan

ebook agama Budha:
1.Kelahiran Kembali dan keadaan Antara dalam Buddhisme Awal sedot di sini gan
2. 5 Aturan Moralitas Bhuddisme sedot di sini
3. Ananda Penjaga Dhamma sedot di sini
4. Apa itu Avija? sedot disini
5. Cara Berlatih yang Benar untuk mencapai Magga dan Phala yang Lebih Tinggi sedot di sini
6. Buddha dan Dhammanya sedot di sini
7. Budha dan pesannya sedot di sini
8. Buku Pedoman Umat Budha sedot di sini

Resume dari:
1. Kelahiran Kembali dan Keadaan Antara dalam Budhisme Awal
     Periode paling awal dari Buddhisme adalah bersatu, dengan tidak ada aliran-aliran yang terpisah secara jelas. Periode ini bertahan sampai kira-kira masa Aśoka, katakanlah 200 tahun setelah Parinibbana.Komunitas Buddhis awal perlahan-lahan terpecah menjadi berbagai “aliran”, yang secara tradisional berjumlah “18”. Aliran yang kita kenal sebagai “Theravāda” merupakan salah satu dari “18” aliran ini, sedangkan aliran yang kita ketahui sebagai “Mahāyāna” terbentuk belakangan. Semua teks yang kita miliki sekarang disusun ke dalam bentuknya yang sekarang oleh aliran-aliran ini, menggunakan kumpulan materi tekstual bersama yang diwariskan melalui komunitas Buddhis awal. Materi awal terutama ditemukan dalam Sutta-Sutta seperti yang dikumpulkan dalam empat atau lima Āgama/Nikāya, yang akan saya sebut sebagai Āgama Sutta. Vinaya mengandung banyak materi yang umum (misalnya pāṭimokkha) tetapi juga banyak tambahan yang belakangan. Abhidhamma merupakan penyusunan yang belakangan. Oleh sebab itu upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelidiki Buddhisme Awal harus didasarkan terutama pada Āgama Sutta.

    Dari hal ini kita dapat menarik beberapa kesimpulan yang penting.
  1. Kelahiran kembali dianggap sebagai suatu proses terus-menerus yang harus dilepaskan dalam mencari pembebasan.
  2. Kelahiran kembali ditentukan oleh pikiran seseorang, khususnya pilihan etis seseorang.
  3. Praktik Buddhisme bertujuan untuk mengakhiri kelahiran kembali. 
 2. Apa Itu Avija?
     Avijjā adalah kebodohan mental tentang 4 Kesunyataan Mulia: Tentang
Penderitaan, Penyebabnya, Akhir dari Penderitaan, dan Jalan menuju
Berakhirnya Penderitaan. Orang yang tidak mengerti Kebenaran tentang
Penderitaan mempunyai pandangan yang optimis akan hidup ini, walaupun hal
itu penuh dengan penderitaan baik mental maupun jasmani. Adalah suatu
kesalahan untuk mencari Kebenaran tentang Penderitaan di dalam buku, karena
sebanarnya hal itu ada di tiap mental dan jasmani. Melihat, mendengar, dan
semua fenomena mental dan jasmani yang muncul dari 6 pintu indera adalah
penderitaan (ketidakpuasan) karena mereka tidaklah kekal (anicca), tidak dapat
diandalkan (aniyata), dan tidak menuruti harapan kita (anattā).
       Kebodohan mental ini bagaikan kacamata hijau (membuat rumput
terlihat segar) yang mengakibatkan kuda memakan rumput kering. Orang buta
dapat dengan mudah ditipu oleh penipu yang penuh percaya diri, yang
menawarkan pakaian tak berharga sebagai pakaian yang mahal. Orang buta itu
akan percaya padanya dan akan menyukai pakaian tersebut. Namun demikian,
bila dia dapat sembuh dari kebutaannya, dia akan kecewa dan langsung
membuang pakaian tersebut. Dengan cara yang sama, orang yang diliputi oleh
avijjā menikmati hidup selama tidak menyadari ketidakkekalan (anicca),
penderitaan (dukkha), dan tanpa diri (anattā). Tetapi, dia akan kecewa ketika
pandangan terang (vipassanā ñāna) membuka sifat alami dari kehidupan yang
menjijikkan.

3. Budha dan Pesannya
Kebenaran Dhamma yang pragmatis ini digfambarkan dengan jelas melalui formula utama yang merangkumkan program pembebasannya. yaitu empat kebenaran mulia:
  1. Kebenaran mulia bahwa hidup meliputi Penderitaan (dukha)
  2. Kebenaran Mulia bahwa penderitaan muncul karena nafsu keinginan 
  3. Kebenaran Mulia bahwa penderitaan berakhir dengan lenyapnya nafsu keinginan
  4. Kebenaran mulia bahwa ada sebuah jalan menuju akhirat derita.

4. Buku pedoman Umat Buddha
   Dalam buku ini menjabarkan bagiamana umat budha seharusnya. dan semua dari mulai tempat ibadah dan peristiwa dari Sang budhha menerima pencerahan sampai murid-muridnya menyebarkan agama budha ini. dalam buku ini juga dijelaskna bagaimana umat budha yang ada di Indonesia.

5.  Cara Berlatih yang Benar untuk mencapai Magga dan Phala yang Lebih Tingg
Magga: Jalan menuju terhentinya Dukha dan Phala (Hasil)
Dari bagian kedua dari ceramah dhamma ini, bagaimana caranya berlatih dan mempertahankan phala yang lebih rendah yang telah tercapai,ucapkan semboyannya.
Semboyan: Phala yang telah benar-benar tercapai
Capainya lagi dengan cepat dan pertahankan lebih lama
Dengan tujuan ini, berlatihlah terus berulang-ulang.
Dari bagian ketiga dari ceramah dhamma ini, cara yang benar

untuk mencapai magga dan phala yang lebih tinggi, ucapkan
semboyannya.
Semboyan: Batasi jumlah hari
Tinggalkan keinginan
Arahkan pikiran,
Tiga hal ini harus benar-benar dilaksanakan.

Untuk seorang ariya yang lebih tinggi,Phala yang lebih rendah Tidak dapat dialami lagi Dengan mengetahui fakta ini, bukankah mudah untuk mencapai phala yang lebih tinggi? (Ya, menjadi lebih mudah untuk dicapai, Bhante).
Semboyan: Pada phala yang lebih tinggi,
Phala yang lebih rendah
Telah benar-benar padam
Dikarenakan oleh kepadaman ini,
Sang ariya pemilik phala yang lebih tinggi
Tidak dapat lagi mengalami phala yang lebih
rendah
    Hal ini berarti yogi tidak lagi dapat mengalami phala yang lebih rendah. Ceramah dhamma ini telah selesai dengan baik. Hari ini, melalui kebajikan dari mendengarkan ceramah dhamma tentang Cara Berlatih yang Benar Untuk Mencapai Magga dan Phala Yang Lebih Tinggi, semoga anda dapat mengikuti, berlatih dan berkembang secara selaras dan semoga anda akan dapat merealisasikan dhamma mulia, dan kebahagiaan nibbāna, musnahnya semua penderitaan, yanganda cita-citakan, dengan cepat dan latihan yang mudah.



6.Samaveda
Samaveda (pengetahuan") tidak lain adalah himpunan mantra-mantra yang diberi tanda nada untuk berbagai irama. Samaveda merupakan bagian dari Catur Weda yang disebut juga "Nyanyian Veda Suci. Samaveda memuat 1875 mantram, dan dimana 1800 mantram merupakan pengulangan daripada Rgveda dan 75 mantram yang lain memang disusun dan dimuat dalam sastra ini.

7. Ananda Penjaga Dhamma
Salah seorang siswa Hyang Buddha yang paling banyak disebutkan dalam
kotbah-kotbah Beliau adalah Ananda. Diantara semua bhikkhu besar yang
mengikuti Hyang Buddha, ia menduduki posisi yang paling unik dalam
banyak Posisinya yang unik telah dimulai sebelum kelahirannya. Sama seperti
halnya Hyang Buddha, ia datang ke dunia dari sorga Tusita, dilahirkan pada
hari yang sama seperti Beliau serta dalam kasta yang sama yakni, kasta
kesatria dari keluarga raja suku Sakya. Ayah mereka merupakan kakak
beradik; jadi Ananda adalah seorang sepupu Hyang Buddha. Ia mempunyai
tiga saudara lelaki: Anuruddha. Mahanama, Pandu dan satu saudara
perempuan: Rohini.
Anuruddha memasuki Sangha (pesamuan para bhikkhu) bersama dengan
Ananda dan mencapai tingkat kesucian seorang Arahat, seorang yang telah
mencapai Pencerahan Sempurna. Mahanama, pangeran suku Sakya, tetap
sebagai seorang perumah-tangga dan mencapai tingkat kesucian
Sakadagami  sedang hal yang dapat diketahui mengenai Pandu adalah
bahwa ia berhasil selamat dari keadaan hampir punahnya suku Sakya pada
waktu Hyang Buddha mencapai usia delapan puluh tahun.
Rohini, satu-satunya saudara perempuan Ananda, mengidap penyakit kulit
sebagai akibat dari sifat irinya pada masa hidupnya yang lampau, dan hidup
dalam pengasingan di rumah sampai Hyang Buddha bercerita kepadanya
mengenai penyakitnya yang disebabkan oleh karma lampau, dan telah
merintis jalan baginya dalam mencapai tingkat kesucian Sotapanna.Akhirnya Rohini menjadi sembuh dan setelah meninggal dunia ia terlahir kembali dalam 'Surga Tiga Puluh Tiga Dewa' (Tavatimsa) sebagai istri Sakka,raja para dewa.
Ketika Ananda berusia tiga puluh tujuh tahun. Ia menyusul kakaknya Anuruddha dan sepupunya Devadatta serta juga banyak bangsawan suku Sakya lainnya untuk menjadi seorang bhikkhu.

8. 5 Aturan Moralitas Budha
Benar. Umat Buddha memiliki lima dasar moralitas umat Buddha yang disebut sebagai Panca Sila (dari bahasa Pali : lima dasar moralitas),
Sila pertama adalah menghindari pembunuhan atau menyakiti segala bentuk kehidupan;
Sila kedua adalah menghindari pencurian atau mengambil yang tidak diberikan;
Sila ketiga adalah menghindari tindakan asusila (penyelewengan seksual);
Sila keempat menghindari diri dari berbohong dan berkata yang tidak benar (berkata kasar, fitnah, dll);
Sila kelima, menghindari diri dari penggunaan bahan-bahan yang dapat menyebabkan melemahnya atau berkurangnya kesadaran/ketagihan.

9.Yajurweda
Yajur Weda Samhita adalah bagian dari Weda Sruti, disebutkan terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari  Rg.weda . Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra.Memuat sastra suci yang terfokus pada ritual dan korban suci. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu :
  • Yayur Weda Putih, dan 
  • Yayur Weda Hitam. 
Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.

10.Atharwaweda
Atharvaveda; Atharwa Weda Samhita adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis yang merupakan bagian dari weda sruti, sebagaimana disebutkan dalam sumber kutipan weda, sebagai ajaran dari Agama Hindu  Atharwa Weda disebutkan terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda.
Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.

11. Mitologi Weda
Mitologi weda adalah suatu istilah yang digunakan oleh para sarjana masa kini kepada kesusastraan Hindu yang luas, yang menjabarkan dan menceritakan tentang kehidupan tokoh-tokoh legendaris, Dewa-Dewi, makhluk supernatural, dan inkarnasi Tuhan yang dijelaskan dengan panjang lebar dalam aliran filsafat dan ilmu akhlak. Mitologi Hindu juga menjabarkan kisah-kisah kepahlawanan yang diklaim sebagai sejarah India masa lampau, seperti Ramayana dan Mahabharata.
Cerita-cerita dalam mitologi Hindu terjalin dalam empat jenjang zaman yang disebut Catur Yuga. Masing-masing Yuga memiliki karakter yang berbeda. Berbagai legenda, kisah tentang Dewa-Dewi dan awatara diyakini terjadi pada zaman yang berbeda-beda pula. Cerita itu dapat disimak dalam kesusastraan Hindu. Kesusastraan mitologi Hindu terjalin oleh etos agama Weda kuno dan kebudayaan Weda, dan cerita-cerita tersebut didasari oleh sistem filsafat Hindu.

12. Budha dan Dhammanya
 Budha adalah seseorang yang mendapatkan pencerahan. budha Gaoutama adalah pembawa ajaran yang disebarkan setelah ia mendapatkan penceraha. nah ajaran-ajarannya disebut dhamma.

Hari-Hari Suci dan tempat-tempat Suci Agama Hindu



HARI – HARI SUCI AGAMA HINDU
PENDAHULUAN
Setiap golongan penganut Agama, golongan negara, golongan manusia di dunia ini pasti mempunyai hari raya tertentu yang dianggap suci (kramat) sakral dan mulia,  yang tentunya tidak akan dilewatkan begitu saja tanpa disertai dengan suatu upacara perayaan (peringatan),  meskipun perayaannya sederhana.  Dalam Agama Hindu sendiri hari suci adalah penting karena pada hari-hari suci tersebut para dewa beryoga untuk menyucikan alam semesta berupa isinya . Beryadnya pada saat ini nilainya sangat baik dibandingkan hari biasanya dan hari suci sering disebut dengan hari raya karena pada saat ini diperingati dan dirayakan dengan khusus dan istmewa . Umat hindu sering menyebut dengan “ Rahinan”. Yadnya ini dilakukan oleh umat manusia. Sebagai penghormatan dan pemujaan terhadap Hyang Widhi (Tuhan Maha Pecipta), atas segala cinta kasih-Nya yang tidak terbatas yang telah dilimpahkan-Nya dan atas sinar suci atau rahmat-Nya kepada semua kehidupan di dunia ini.
Berikut beberapa Hari – hari suci Agama Hindu :
1.      Nyepi
Dalam istilah orang Bali sendiri mereka punya arti tersendiri untuk memahami nyepi itu. Menurut mereka nyepi itu adalah memadamkan segala hasrat buruk dalam diri kita yang selalu menjadi penghalang untuk mencapai tingkat kekosongan. Nyepi itu kosong. Kosong dari angan-angan, kosong dari pikiran buruk. Maka dari itu beragam pulalah arti nyepi bagi setiap orang yang memiliki keyakinan terhadap kepercayaannya. Nyepi juga punya arti sebagai Perayaan dalam rangka merayakan Tahun baru Saka, yang terdiri dari beberapa rangkaian acaranya yaitu :
®    Panglong 13 Sasih Kasanga
Umat Hindu melaksanakan upacara Melasti / Mekiis ke sumber mata air (laut), yang bertujuan untuk “ ngayudang malaning gumi, angamet tirtha amertha”, artinya menghayutkan segala kotoran buana agung dan buana alit kemudia memohon tirtha amertha ( tirtha kehidupan )
®     Tilem Sasih Kasanga
Melaksanakan Budha yadnya mulai dari tingkat keluarga sampai tingkat propinsi. Setelah melaksanakan upacara tersebut sore harinya ( sandhikala ) diadakan upacara ngerupuk dan mengarak ogoh-ogoh sebagai simbois wujud Bhuta Yadnya. Mengarak ogoh-ogoh bertujuan untuk nyomnya Bhuta Kala agar sifat-sifatny yang negatif berubah menjadi dewa agar membantu menylamatkan umat manusia.
®    Tanggal Apisan ( tanggal satu ) sasih kadasa
Adalah tahun baru Saka ( hari suci nyepi ). Umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian yaitu :
1. Amati Geni artinya tiidak menyalakan api
2. Amati Karya artinya tidak bekerja
3. Amati Lelungan artinya tidak berpergian
4. Amati Lelanguan artinya tidak mengumbar nafsu ( tidak mendengarkan radio, tape,TV,dan kegiatan yang menyenangkan lainnya )
®    Ngembak Geni
Sehari setelah hari suci Nyepi,umat Hindu saling kunjung-mengunjungi sanak keluarga
®    Dharma Santi
Setelah hari ngembak geni. Mengenai pelaksanaan Dharma Santi ini disesuaikan dengan kemempuan dan desa,kala,patra( tempat,waktu dan keadaan )
2.      Ciwaratri
Hari Raya Ciwaratri adalah malam renungan suci atau malam pelaburan dosa. Hari Ciwaratri jatuh pada Purwanining Tilem Ke VII (kepitu), yaitu sehari sebelum bulan mati sekitar bulan januari. Pada hari ini kita melakukan Puasa dan Yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan hari Hyang widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidnya (kegelapan). Hari ciwaratri kadang kala disebut juga hari pejagaran. Karena pada hari ini Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Yang bermanifestasikan sebagai Ciwa dalam fungsinya sebagai pelebur, melakukan Yoga Yoga semalam suntuk, karena Itu pada hari Ini kita memohon kehadapan- Nya agar segala dosa –dosa kita dapat dilebur. Pada malam Ciwaratri ini. Setiap orang mendapat kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya (dosanya) dengan jalan melaksanakan brata Ciwaratri. Hal ini disebutkan dalam kitab Padma Purama. Bahwa sesungguhnya malam Ciwaratri itu adalah malam peleburan dosa, yaitu peleburan atas dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang didalam hidupnya.
3.      Galungan
Hari Raya Galunagan adalah pemujaan kepada Hyanng Widhi yang dilakukan dengan penuh kesucian dan ketulusan hati. Memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup serta agara dijauhkan dari awidya. Hari raya galungan adalah hari pawedalam jagat.  Yaitu pemujaan bahwa telah terciptnya jagat dengan segala isinya oleh Hyang Widhi. Hari ini muncul setiap 210 hari sekali. Yaitu pada hari rabu kliwon Wuku Dungulan.  Galungan merupakan perlambang perjuangan antara yang benar (dharma) nmelawan tidak benar (adharma) dan juga sebagi pernyataan rasa terimakasih atas kemakmuran dalam alam yang diciptkan Hyang Widhi ini. Disamping itu pula, perayaan galungan adalah untuk menyatakan terima kasih dan rasa bahagia atas kemurahan Hyang Widhi yang dibayangkan telah sudi turun dengan diiringi oleh para dewa dan para Pitara ke dunia.
Sehari sebelum galungan, yaitu pada hari selasa Wage wuku Dungulan. Disebut hari Hari Penampahan. Mulai saat penampahan ini segala bentuk nafsu hendaknya dikendalikan dalam rangka menyambut hari raya Galungan (Besoknya), karena pada hari Penampahan iini manusia berusaha digoda oleh nafsu-nafsunya yang bersifat negatif, misalnya nafsu murka, iri hati, sombong, congkak dan lain-lainnya, yang dilambangkan dengan Sang kala Tiga. Apabila manusia pada saat itu kurang waspada dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, maka ia akan dikuasai adanya dorongan nafsu marah, sering terjadi pertengkaran-pertengkaran .perselisihan dan lain sebagainya.
4.      Kuningan
Hari Raya Kuningan jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan 210 hari sekali yakni sepuluh hari setelah Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogaan Hyang Widhi yang turun kedunia dengan diiringi oleh para Dewa dan Pitara pitari melimpahkan Karunia-Nya kepada umat manusia. Karena itu pada hari Kuningan kita hendaknya mengahturkan bakti memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan tuntunan lahir bathin. Pada hari kuningan ini, sajen (banten) yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yanng berwarna kuning. Tujuannya adalah sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan dan kemakmuran yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi Wasa. Pada hari ini kita membuat tamiang, endongan dan kolem yang dipasang pada Padmasana. Sanggah (Merajan) dan Penjor. Tamiang ini adalah simbol alat penangkis dari serangan, endongan adalah simbul tempat makanan karena itu endongan berisi buah-buahan, tebu, tumpeng serta lauk pauknya, dan kolem merupakan simbul tempat istirahat atau tidur. Upacara persembanhyangan hari kuningan harus sudah selesai sebelum tengah hari.
5.      Hari Purnama dan Tilem
Purnama dan Tilem, Juga merupakan hari suci bagi umat Hindu, yang harus disucikan dan dirayakan untuk memohon berkah, rahkmat dan Karunia dari Hyang Widhi. Pada hari Purnama adalah payogaan Sanghyang Candra dan pada hari raya Tilem adalah Payogaan Sanghyang Surya. Kedua-duanya sebagai kekuatan dan sinar suci Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) dalam manifestasinya berfungsi sebagai pelebur segala mala (kekotoran) yang ada di dunia.
Bila pada hari Purnama atau Tilem umat manusia menghaturkan upakara yadnya dan persembahyangan kehadapan hyang Widhi, dari nilai satu aturan (bhakti) yang dipersembahkan itu akan mendapat imbalan anugrah bernilai sepuluh dari hyang Widhi. Demikianlah hari Purnama dan Tilem itu yang merupakan hari Suci yang harus dirayakan oleh umat Hindu untuk memohon anugrah dan rakhmat serta keselamatan dan kesucian lahir bathin. Pada hari Purnama dan Tilem hendaknya mengadakan upacara-upacara persembahyanngan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya sebagai salah satu aspek dari pada pengalaman ajaran agama.
Hari Purnama jatuh setiap bulan penuh (sukla paksa), sedangkan Tilem jatuh setiap bulan mati (krsna paksa). Baik purnama maupun Tilem datengnya setiap 30 atau 29 hari sekali. Pada hari Purnama dan Tilem ini kitahendaknya mengadakan pembersihan secara lahir batin, karena itu, disampping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, juga kita hendaknya mengadakan pembersihan dengan air (mandi yang bersih). Menurut pandangan Hindu bahwa air merupakan sarana pembersihan yang amat penting didalam kehidupan manusia. Disamping itu pula air merupakan sarana pembersih, juga sebagai pelebur kotoran.
6.      Hari Saraswati
Hari Saraswati, adalah hari raya untuk memuja hyang Widhi dalam menifestasinya dan kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian. Hari Raya Saraswati merupakan piodalan Sang hyang Aji Saraswati atau turunya Weda yang dirayakan setiap hari sabtu Umanis Wuku Watugunung, yang jatuhnya setiap 210 hari sekali. Kekuatan Hyang Widhi dalam Manifestasin-Nya menurunkan Ilmu pengetahuan dilambangkan dengan seorang “Dewi”. Dewi Saraswati merupakan Dewi ilmu pengetahuan Suci, karena itu bagi para arif bijaksana, pelajar dan kaum cendikiawan, saraswati ini merupakan hari penting untuk memuja kebesaran hyang Widhi atas segala Ilmu pengetahuan suci yang telah dianugrahkan itu.
Dewi Saraswati merupakan sakti Brahma (manifestasi Hyang Widhi dalam hal mencipta), yang mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan inilah timbul ciptaan-ciptaan baru yang ada didunia, tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak mungkin dapat menciptkan yang baru.
Dalam kesempatan lain ada juga yang mendefinisikan hari suci berdasarkan jenisnya sebagai berikut;
    Jenis – jenis Hari Suci
1.      Hari raya /yadnya dilakukan setiap hari. Sebagai contoh para sulinggih melakukan Surya Sewana, umat Hindu melakukan  Tri Sandhya, Yoga Yadnya, Swadhyaya Yadnya, dan Dyanayadnya. Yang harus dilakukan tiap hari adalah Yadnya Sesa
2.      Hari raya berdasarkan pertemuan Tri Wara dengan Panca Wara
Artinya  persembahan yang dilakukan pada pertemuan antara hari Kajeng (Tri Wara), dan Kliwon (Panca Wara) sehingga didapatkan hari suci Kajeng Kliwon. Kliwon  datangnya setiap lima hari sekali, Sang Hyang Siwa  bersemedi,pemujaan terhadap sang Hyang Siwa. Kajeng Kliwon datang setiap 15  hari sekali,pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa
3.      Hari Raya Berdasarkan pertemuan Sapta Wara dan Panca Wara
Artinya persembahan dilakukan pada pertemuan Sapta Wara denga Panca Wara, antara lain sebagai berikut:
a.  Anggara Kliwon disebut pula Anggara Kasih, pada hari ini beryoga Sang Hyang Rudra.
b. Budha Wage disebut juga Budha Cemeng, beryoga Sang Hyang Manik Galih menurunkan Sang Hyang Ongkara Amertha di bumi ini. Yadnya dipersembahkan kepada sang Hyang Sri Nini, agar diciptakan kemakmuran dunia
c.  Budha Kliwon, hari ini namanya sering disesuaikan dengan  wukunya. Hari Budha Kliwon adalah hari  penyucian Sang Hyang Ayu atau sang Hyang Nirmala Jati Sehingga persembahan ditunjukkan  padanya
d. Saniscara Kliwon hari ini namanya sering disesuaikan dengan nama wuku.Persembahan ini ditujukan kepada Sang Hyang Parameswara
Hari-hari suci Agama Hindu Di India
  A.  Chaitra Purnima
Hari suci ini jatuh pada purnama Bulan Chaitra (ke 9) di bali bersamaan dengan Purnama kadasa (WAISAKA ), sekitar Maret-April. Pada hari ini umat melakukan pemujaan terhadap Dewa Yama. Umat biasanya mengaturkan sesaji berupa nasi lengkap dengan bumbunya. Setelah persembahan. Umat biasanya makan bersama (prasadam). Hari raya ini sebenarnya jatuh pada purnama dibulan pertama, menurut kalender Hindu. Sebab Umat Hindu memandang Bulan Chaitra sebagai awal tahun baru sehingga perayaan ini bisa jadi sekaligus merupakan perayaan tahun baru Saka.
   B.  Durgapuja
Hari suci ini di rayakan pada suklapaksa (penanggal) sampai 10 pada bulan Asuji, sekitar September- oktober. Pada sistem kalender bali, ini bertepatan dengan bulan kartika (sasih kapat). Hari durgapuji ini juga diperingati setelah Rahmawavani yang jatuh pada suklapaksa kesembilan.
Pada hari ini, umat pertama-tama melakukan pemujaan di rumahan masing-masing. Pada hari ini, umat juga memuja Siva Ganesha dan dewa-dewa lainya. Pada perayaan ini, umat biasanya menggarak patung dewi Durga berlengan delapan lengkap dengan senjatanya. Umat biasanya melakukan bhajan. Semalam suntuk untuk memuja durga. Mereka biasanya menggunakan tempat-tempat umum, seperti di dekat pasar dan sejenisnya. Pada puncak acara, umat biasanya juga melakukan mandi suci ke sungai-sungai suci.
     C. Dipavali
Hari suci ini biasanya di peringati pada Krsnapaksa ke 14 (pangelong ping 14) bulan kartika. Pada sistem kalender di Bali bertepatan dengan sasih kalima. Hari suci ini dilaksanakan untuk memperingati kembalinya Sri Rama ke Ayodhya. Sehingga umat menyambut beliau dengan menyalahkan Dipa, sejenis lilin-lilin kecil.
    D. Gayatri Japa
Hari suci ini untuk memperingati turunya Mantram Gayatri. Mantram ini adalah ibu daripada semua Mantram dalam Weda. Hari suci ini sangat dikramatkan umat Hindu. Hari suci ini jatuh pada Purnama Srawana, sekitar Juli-Agustus. Hari suci Ini bertepatan dengan purnama Karo (Bhadrapada) menurut sistem kelender umat Hindu di Bali.
    E.  Guru Purnima
Hari suci ini juga disebut Vyasa Jayanti, atau hari kelahiran Maharsi Vyasa. Hari suci ini jatuh padaPurnama Asadha, sekitar Juni-Juli. Menurut perhitungan kalender hindu dibali, ini bertepatan dengan purnama kasa (Srawana). Hari ini sangat penting bagi para Sannyasin. Pada hari ini, mereka akan berhenti mengembara. Mereka akan tinggal diasram-asram untuk mendiskusikan Brahmasutra dan bermeditasi.
Kesimpulan
Tempat suci mempunyai funsi yang amat penting bagi Umat Hindu funsi yang hampir meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat Hindu.
Sebagaimana disebutkan dalam sastra agama, maka fungsi tempat (Pura) itu adalah sebagai berikut:
a. Pura adalah temapt beribadat, tempat manusia mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi, tempat memohon dan bersujud kehadapan Tuhan yang Maha Pecipta. DiPuralah tempat manusia mempersatukan dirinya kepada Tuhannya.
b. Pura juga merupakan tempat memperlai mengikrarkan sumpahnya atas pesaksian Sang Hyang Widhi untuk memasuki hidup baru, mereka berjanji tetap setia sehidup semati bersama dalam suka maupun duka untuk membawa rumah tangga yang berbahagia sesuia dengan tuntunan agama    
c. Temapt untuk memuja roh-roh suci yang dipandang suci baik roh suci leluhur, roh para Rsi maupun raja-raja yang dianggap telah menjadi Dewa-dewi.


Sumber:
Warman I Nyoman Singgin dan Sutara I Gede. Hari Raya Hindu Bali-India. Surabaya: Paramita. 2003.
Oka Netra Anak Agung Gde. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Denpasar: Widya Dharma. 2009.
Suarka I Nyoman. Ketuhanan Bali; Kajian Analisis dan Era Baru Empu Kunturan. Surabaya: Paramita. 2005.
http://dimas-sigit.blogspot.com/2012/01/hari-hari-suci-agama-hindu-di-indonesia.html

Upacara kelahiran, Perkawinan dan kematian dalam agama Hindu


MAKNA KELAHIRAN DALAM AGAMA HINDU
Kelahiran merupakan anugrah terbesar yang diberikan Sang Hyang Widhi, sejak dalam kandungan sebelum kelahiran dalam ajaran Hindu, manusia telah dipersiapkan dan dibentuk melalui adanya ritual – ritual dengan tujuan agar sang anak yang dalam kandungannya lahir dan besar sesuai harapan. Dalam Agama Hindu terdapat Upacara Manusa Yadyna, yakni upacara persembahan suci yang dilaksnakannya dengan tulus, yang mana terdapat nilai – nilai positif, yakni dalam rangka memelihara dan mendidik secara spiritual hindu terhadap si calon anak semenjak terwujudnya jasmani dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Dalam ajaran Hindu terdapat empat tingkatan dalam menjalani hidup ini, yakni bagian dari Catur Purusa Arta, yaitu: Brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Upacaranya sendiri terbagi menjadi beberapa macam, diantaranya :
1.      Magedog – gendongan
Upacara ini dilaksanakan setelah janin berusia dibawah lima bulan, yang dilaksanakan dalam rangka untuk membersihkan dan memohon keselamatan si cabang bayi, dengan harapan agar kelak nanti menjadi orang yang berguna. Waktu melaksanakannya pada saat kandungan berusia 210 hari (tidak harus persis), untuk tempat pelaksanaannya dilaksanakan di dalam rumah, halaman rumah, pekarangan rumah, ditempat pemandian darurat serta dilanjutkan didepan sanggar pemujaan (sanggah kamulan), dipimpin oleh Pandita, Pinandita, atau Pinisepuh (Seseorang yang paling tua).
Sarana – sarana dalam Upacara Magedog – gendongan yaitu :
a.       Pamarisuda : Byakala dan prayascita
b.      Tataban: sesayut, pengambean, peras penyeneng dan sesayut pamahayu tuwuh
c.       Di depan sanggar pemujaan harus terdapat : benang hitam satu gulung yang kedua ujung dikaitkan pada dahan dadap, bambu daun talas dan ikan air tawar, ceraken/tempat rempah – rempah
Prosesi Pelaksanaanya :
1.      Ibu yang mengandung tersebut dianjurkan terlebih dahulu melakukan prosesi penyiraman di parusida, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2.      Ibu yang mengandug menjinjingi tempat rempah – rempah, tangan kanan menjinjingi daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3.      Tangan kiri suami memegang benang, dan tangan kanannya memegang bambu runcing
4.      Lalu, suami mmenggeser benang hingga menusuk dan talas yang dijinjing istrinya sampai air dan ikannya tumpah/terjatuh, lalu memercikkan air suci ke sesajian yang telah di sediakan
5.      Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan bayi yang di dalam kndungan agar selamat sampai lahir lancar tanpa hambatan.
6.      Acara ditutup dengan pembacaan mantera – mantera yang dibacakan seperti di Bali yaitu Mantrapuja Nadisraddhadan untuk keselamatan sang ibu, pangkulatan dan terakhir natab[1]
2.      Upacara setelah Kelahiran
a.       Upacara Jatakarma
Terdapat pula upacara kelahiran yang dinamakan Upacara Jatakarma yang dilaksanakan pada sebelum tali pusar bayi terputus, dan apabila terlanjur lepas, harus dibuatkan suatu upacara yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual tempat – tempat suci dan bangunan – bangunan yang ada disekitarnya. Upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur bahagianya atas kehadiran buah hati ke dunia, walaupun orangtua menyadari bahwa beban semakin bertambah. Waktu yang tepat dilaksanakannya upacara ini adalah pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah medapat perawatan pertama, adapun tempat prosesinya dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah, di pimpin oleh salah seorang keluarga tertua/yang dituakan.
Adapun sarana – sarana yang harus dipenuhi:
1)      Dapetan, yaitu terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen) dan buah – buahan
2)      Canang sari/ canang gangten, sampiyan jaet dan penyeneng.
3)      Sebuah kendil atau sebuah kelapa yang airnya dibuang seta lengkap dengan tutupnya digunakan untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari).
Prosesi pelaksanaannya :
1)      Bayi yang baru ahir tersebut di upacarai dengan bahan – bahan yang sudah disiapkan : banten dapetan, canang sari, cenang genten, sampiyan dan penyeneng. Dengan tujuan agar roh/atma yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2)      Ari – ari dibersihkan, lalu dimasukkan kedalam kendil lalu ditutup. Jika menggunakan kelapa,terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, yang telah ditulisi aksara “Om kara (om)” pada kendil, dan jika pada kelapa ditulisi aksara “Ah Kara (ah)”
3)      Selanjutnya kendil/kelapa dibungkus dengan kain putih dan didalamnya diberi bunga.
4)      Lalu, kendil/kelapa yang befrisi ari-ari tadi ditanam di halaman rumah, di bagian pintu kanan untuk bayi laki – laki dan pintu kiri untuk yang perempuan bila dilihagt dari luar rumah.
b.      Upacara kambuhan 
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci. 
Adapun sarana untuk melaksanakan upacara kecil:
1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara dan dapetan.
Untuk upacara yang lebih besar
1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara, jejanganan, banten pacolongan untuk di dapur, di permandian dan di sanggah kamulan serta tataban.
Waktu Upacara kambuhan dilaksanakan pada saat bayi berusia 42 hari. Tempat Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah, di dapur, di halaman rumah dan di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk upacara kambuhan dipimpin oleh seorang pinandita atau pandita.[2]
c.       Upacara Tigang Sasih 
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur  tiga bulan, di India upacara ini disebut Niskarmana, yang berarti dalam bahasa inggris adalah first ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di Indonesia,upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini terjadi dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
Prosesi pelaksanaannya :
1.      Dibuatkan bentuk segi empat yang didalamnya disebarkan beras oleh sang ibu. Lalu dibuatkan gambaran swastika. Dari tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi. Sebelum ditebari beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur  tanah liat,lalu sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke matahari.
2.      Setelah itu, bayi dipakaikan pakaianyang layak serta indah kemudian diajak ke tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga). Pemujaan di tempat itu diantar oleh pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian musik, lalu sang pendeta mengucapkan mantra weda kehadapan tuhan dengan disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan penjuru angin serta dewa matahari dewa bulan dan dewa angkasa
3.      Lalu, Ayah sang bayi tidak berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar. Setelah upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang terus memangkunya, serta diberikan hadiah-hadiah.
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
d.      Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara
Upacara ini dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
Sarana – sarana yang harus dipenuhi :
Sarana Upakara kecil: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara besar: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.
Prosesi pelaksanaannya :      
1. Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan.
2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4. Selanjutnya pemanjatan doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita.
5. Setelah itu bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.
e.       Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Yang bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah, dan dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua
Sarana – sarana :
Upakara kecil: Prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen kumara.
Upakara yang lebih besar: Prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara, ditambah gembal bebangkit.
Prosesi pelaksanaannya :
1.      Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2.      Selanjutnya dilakukan pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3.      Setelah itu penghormatan terhadap leluhur.
4.      Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5.      Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.
MAKNA PERNIKAHAN DALAM AGAMA HINDU
Perkawinan hakekatnya adalah Upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa, kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1979, pasal 1, yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal karena Tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai arti dan kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha. Di dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat religious (sakral) dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis kembali ke dunia.[3]
Waktu pelaksaannya adalah biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra). Yang dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Diantaranya syarat – syarat pernikahan adalah :
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
Faktor Batiniah,yaitu:
1.         Pernikahan yang berdasarkan cinta sama cinta
2.         Mempelai harus agama yang sama
Faktor Lahiriah, yaitu:
1.         Faktor usia
2.         Bibit, bebet, bobot
3.         Tidak terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain.[4]
Prosesi pelaksanaannya :
Berikut adalah cara yang dapat dilakukan dalam acara perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: Mempadik, Ngerorod, Nyentana, Melegandang.
* Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
*Pedewasaan (mencari hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau  seorang yang sudah biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
* Penjemputan calon pengantin wanita
Pada saat penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin wanita serta calon pengantinnya.
* Ngetok lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin wanita.[5]
MAKNA KEMATIAN DAN UPACARA
Kematian adalah salah satu hal yang mutlak yang seseorang siapapun tidak akan bisa menghindarinya, didalam agama hindu terdapat ritual tersendiri ketika terjadi kematian seseorang, yaitu upacara Ngaben, yang sebenarnya identik dengan pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak bisa melaksanakan upacara ini. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Tentunya, hal ini adalah sesuatu yang sangat bertolak belakang dari tujuan asli dan konsep dasar dari Upacara Ngaben. Justru di Bali dibedakan lagi menjadi dua bagian, yang mana terdapat uapacara ngaben yang tidak terlalu diwajibkan diadakan besar – besaran, yaitu : MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben yang tergolong  besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
Ada beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya :
a.       Pitra Yadnya
Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan  Yadnya “korban suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang dilontarkan dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra Yadnya wajib hukumnya
Berkorban pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang merupakan garis lurus keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang tergolong Pitra Yadnya itu
-          Pemeliharaan ketika masih hidup
Berupa memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan serta memuaskan batinnya,  yang dapat ditempuh dengan berbagai macam cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu memohon restu untuk segala tindakan yang akan diambil.
-          Penyelenggaraan upacara setelah kematian
Penyelengaraan upacara untuk jenazahnya dengan proses penyucian Atma untuk dapat kembali pada asalnya seperti halnya ;
-          Membersihkan sawanya (mresihin)
-          Mendem atau ngurug semetara karena suatu hal belum bias diaben
-          Ngaben/atiwa-tiwa
-          Mroras/ mamakur
Upacara-upacara tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara penyucian rohnya “ Atmawedhana”. Atma yang telah disucikan di sebut DewaPitra “Pitra yang telah mencapa tingkatan Dewa “SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong Pitra Yadnya, melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan pada proses kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma ke alam dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.
b.      Pranawa
Aksara om kara, nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai symbol sawa.
c.       Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya tidak ada (tasn kneng hinulatan)
d.      Sawa prateka
Jenis ngaben untuk sawa yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan
e.       Sawa wedhana
Jenis ngaben yag dilakukan untuk sawa yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug)
f.       Asti wedhana
Upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.
Arti simbolik upakara[2]
1.      Sarana + bebantenan
Dalam upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara, tetapi tidak begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana upakara yang berfungsi sebagaipembersihan.
2.      Sarana upakara
-          Awak-awakan
Pengganti badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk mependhem.
-          Tirtha
Tirtha pembersihan
“tirtha yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang diabenkan atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin sawa atau awak-awakan sawa
Tirtha panglukatan
“ dibuat juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben, dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha pamanah
“Dibuat oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha pangentas”.
“Merupakan unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan bagi orang yang mati yang dipendhempun harus memakai tirtha pangentas mependhem”.
-          Papaga
Bale dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai tumpang salu, dan pelinggihan pitra ketika disamskara.
-          Jempana
Bentuknya seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang telah direka, serta sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar, kemudian untuk dilarung kelaut atau sungai.
-          Bale pangastryan
Bale yang dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan ilalang, sebagai tempat upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan lainnya.
-          Tatukon pengiriman
Merupakan kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia.
-          Ganjaran serta penyertanya
Kulambi pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong sebagai lutut, gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih, ilih sebagai nafas, kotak mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table sebagai kepala yang kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana dalam melengkapi ganjaran dan pengikutnya.
-          Kajang
Kain putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan kajang sesuai dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti masing-masing yang berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit tubuhnya.
-          Karab sinom
Kerudung bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya sebagai kerudung.
-          Angkep rai
Kain putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
-          Pagulungan
Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma dengan aksara walung Kapala (aksara kulit manusia)
-          Lante
Dibuat dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan tali ketikung (perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari penjalin atau bambu.
-          Selepa
Jenis peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau dimana pada pusarnya dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan sawa) yang masuk kedalam tanah.
-          Bandusa
Peti mati tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang salu, guna memdapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka, tarpana dan lain-lain. Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
-          Tumpang salu
Tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan samskara(penyucian) atau kunapa bhinesaka oleh pendeta.
-          Tatindih
Kain sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
-          Wukur
Terbuat dari lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada dada sawa berfungsi sebagai tempat tidurnya roh.
-          Sawa karsian
Bagi sawa yang telah dipendhem
-          Pangrekan
Kumpulan kwangen sebagai symbol padma
-          Adegan (pisang jati)
Perwujudan dari orang matai
-          Angenan
Symbol jantung manusia
-          Sok bekal
Bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
-          Lis pering
Sepasang ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan isinya diletakkan pada kaki sawa.
-          Kesi-kesi / jemek
Symbol dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di sertai dengan kulambi, mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong, kotaktabla, canang, tigasan dan tiga sampir.
-          Iber-iber
Berupa ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar sebagai symbol perginya atma
-          Tah mabakang-bakang
Sabit yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian atma.
-          Gender
Gamelan yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk mengiringi kepergian atma
-          Penuntun
Terdiri dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
-          Sanggah cucuk dan dammar kurung
Jenis sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam upakara bebantenan
-          Kaki patuk dan dadong sempret
Deling atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama bang
-          Tragtag
Wadah semacam tangga untuk menaikkan sawa
-          Ubes-ubes
Papecut yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan
-          Pemanjangan
-          Sekarura
Bunga kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
-          Cegceg
Beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh atma.
-          Bale gumi
Tempat sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai lantainya
Upacara
Prosesi tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu sawa prateka dan sawa wedhana.
Adapun tahap-tahapnya parteka :
Pabersihan dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan, narapana,matetangi, samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk mengambil toya, memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara adegan, pitra puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara kabeji atau narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.
Dewasa ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang betul-betul diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha terutama dalam upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari timur ke selatan yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam pembagiannya;
a.       Angutarayana
Matahari bergerak dari tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali menunjukkan sasih ka dasa, dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang umumnya baik tuk mitra yadnya karena terbukanya pintu alam visnu
b.      Indrayana
Saat matahari berada di tengah-tengah bulatan bumi ketika dating dari utara yang menunjukan sasih kapat (terbukanya semua alam dewa saat yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari dating dari selatan yang menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
c.       Daksiyana
Saat-saat matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih ka lima (baik tuk melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan bhatara), ka enam dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan manusa madya).
Ngaben sarat relevansinya masa kini
Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya. Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
Kondisi umat hindu
Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).
Masa sekarang
Telah merasuknya  masa transisi pada industrialism, maka sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka pengabenanpun rutin terlaksana.
Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Landasan filosofis
Telah banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada landasan pokoknya adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha antara lain :
1)      Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula terciptanya alam semesta beserta isinya dan merupakan tujuan akhirnya semua yang tercipta.
2)      Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada masing-masing badan manusia dan merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman. maka setelah tiba waktu kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
3)      Karma
Manusia hidup tidak lepas dari kerja, atas dorongan sukma sarira (budi, manah, indra dan aharalagawa) yang pada setiapnya akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) akan berpahala baik pula dan sebaliknya asubha karma akan menerima timpaan yang buruk pula. Dan pahala ini yang akan menjadi beban atma.
4)      Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang atma, maka haruslah melaksanakan upacara untuk melepaskan atma dari samsara ketika kembali pada asalnya.
5)      Moksa
Kebahagiaan abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang menjadi tujuan utama umat hindu.[6]