Selasa, 16 Juni 2015

Ajaran Budha Dharma tentnag Ketuhanan

Ajaran Budha Dharma tentnag Ketuhanan


     Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.[1]
     Ajaran agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri, rahasia yang mengatasi dunia.
   Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).[2]
Cara yang ketiga memahaminya sebagai buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki potensi untuk menjadi buddha.[3]

Trikaya
       Hakikat kebudhaan dharmakaya yang absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak dibatasi olh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, beban dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh dharma ini disebut juga rahim tathagata (tathagata garbha).[4]
       Keterlibatan dalam dunia yag bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil bentuk yang berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh segala makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia. Tubuh yang tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu tubuh rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan dalam perwujudan surgai yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang buddha menyadari kebuddhaan dengan memiliki tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk mengajar para boddhsatwa. Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia. Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai buddha historis adalah wujud nirmanakaya.[5]
Konsep Adi Buddha
       Dalam agama buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
      Adi buddha merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
      Konsep adi buddha terdapat dalam kitab namangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974  tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah  RI no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”
Konsep Adi Buddha
      Dalam agama buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
      Adi buddha merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga [6]paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat dalam kitab namangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu sendok.
      Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974  tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah  RI no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”[7]
  Konsep Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
      Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun kepada pihak lain.      Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Dalam melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.[9]
DAFTAR PUSTAKA
      Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993    
       Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
      Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010.
      Hansen, Upa. Sasanasena Seng . Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vidyasena Production.   Cet. Ke-2. 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar