Pendahuluan
Manusia itu kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang
selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda / lima kelompok kegemaran yaitu:
1. Rupakhandha adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan obyek
seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh.
2. Vedanakhandha adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima
indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan senang maupun sedih.
3. Sannakhandha adalah yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti
bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
4. Shankharakhandha adalah 50 bentuk pikiran seperti lobha (keserakahan), chanda(keinginan), sadha (keyakinan), viriya (kemauan keras) dan
sebagainya.
Dari lima yang disebutkan diatas sering diringkas menjadi dua
yaitu nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari
perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan, yang dapat digolongkan sebagai
unsur-unsur rohani. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri dari empat unsur
materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
Menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang
timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu,
ia disebut sankhata dharmayang
berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah.
Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang yang selalu dalam keadaan
menjadi.
Hubungan antara Manusia dengan alam dalam agama buddha itu
sangat keterkaitan antara keduanya, mengapa? Karena adanya alam maka
terciptanya juga manusia karena tidak adanya manusia maka tidak adanya juga
alam semesta ini. Dan ketika agama buddha itu sendiri dibicarakan atau dianggap
sebagai agama / filsafat sudah terciptanya alam semesta ini dan manusianya itu
sendiri.
A.
Penciptaan
Manusia
Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan,
melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya
terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran
mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya
akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai
adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan
akibat.
Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahiradalah sebab musabab
yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi
penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan
yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang
mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan
mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya
(perbuatannya) dikehidupan yang lalu[2].
Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk
mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang
akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak
adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi
kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang
mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur
keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal.
Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti,
bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur
yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
Pemikiran
tentang adanya manusia itu unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya
roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan
kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, harus dapat
diidentifikaikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik
ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat
lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu
dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat
berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin
tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini
hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam
perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan
menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang,
bermura hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri.[3]
Agama
Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian
empiris. Agama Budha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di
dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu
adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani
dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin
dan jasmani.[4]
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran
Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya
Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
a) Dukkha sebagai derita
biasa (dukkha-dukkha)
b) Dukkha sebagai akibat
dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
c) Dukkha sebagai keadaan
yang saling bergantung (sankharadukkha)
Untuk
menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang
disebut dukkhasamudaya, yang
ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang
mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa
nafsu.
Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti
nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai pengertian khusus untuk
menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan
konsep surga maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam,
Kristen, ataupun Hindu. Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus
disadari dan dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui
cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai pemadaman, penghancurananavas, yaitu sifat-sifat
induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada
hal-hal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran kembali.
Nirwana
merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup
maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami
delapan jalan mulia atau Hasta
Arya Marga.[5]
B.
Penciptaan
Alam
Hakikat
kenyataan penciptaan alam adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi
keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang
bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung
suatu substansi yang tidak bersyarat.
Ada tiga tradisi
pikiran mengenai asal muasal dunia.
a) Tradisi pikiran
pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu
kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru
berubah.
b) Tradisi pikiran kedua
berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan maha kuasa yang bertanggung
jawab akan segala sesuatu.
c) Tradisi pikiran ketiga
berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal
itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga
ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama
sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan.
Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena
miskinnya pikiran kita.”[6]
Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum
Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan
karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling
bergantungan”.[7]
Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta,
baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun
yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.[8]
Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat
rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
a) Dengan adanya ini,
maka terjadilah itu.
b) Dengan timbulnya ini,
maka timbullah itu.
c) Dengan tidak adanya
ini, maka tidak adalah itu
d) Dengan terhentinya
ini, maka terhentilah itu.[9]
Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam
semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha tidak pernah
menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam
diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha.
Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir
dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam
menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam
semesta sebelumnya.
Dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang alam semesta
ditujukan untuk memungkinkan manusia untuk menguasai demi kenyamanan material
dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha mengajarkan bahwa tidak ada
pengetahuan nyata apapun yang mampu membebaskan manusia dari rasa sakit.[10]
Dalam Visudha Maga 2204, loka tersebut digolong-golongkan atas
shankharaloka, sattaloka, okasaloka. Shankharaloka adalah
alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu,
logam, emas. Sattaloka adalah
alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah
hingga yang tinggi, kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Dalam
sattaloka ada 31 alam kehidupan yang dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kamaloka, yaitu alam
kehidupan yang masih senang dengan nafsu birahi dan terikat oleh panca
indranya.[11]
Meliputi 11 alam yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Apaya-Bumi, meliputi:
1) Alam neraka
2) Alam binatang
3) Alam syetan
4) Alam raksasa asuro.
b. Kamasugatu-Bhumi,
meliputi:
1) Alam para Dewata yang
menikmati ciptaan-ciptaan lain,
2) Alam dewata yang
menikmati ciptaannya sendiri,
3) Alam dewata yang
menikmati kesenangan,
4) Alam dewata
Yama,
5) Alam 33 dewata
6) Alam tempat Maharaja
7) Jagat manusia[12]
Jadi
Brahma tidak dapat dikatakan Tuhan yang Maha Esa karena masih berada dalam
Samsaracakra yaitu lingkaran roda samsara yaitu Roda kelahiran dan kematian. Di
dalam samsaracakra ada tiga alam yaitu alam Brahma tanpa wujud, alam Brahma
berujud dan alam Kamaloka. Kamaloka terdiri dari Sorgaloka dan Bumi loka yaitu
alam yang dihuni oleh para Dewa dan umat manusia. Brahmaloka maupun Kamaloka
ini diciptakan, dilahirkan karena dialam-alam tersebut masih ada penderitaan,
umur tua dan mati.[13]
Ruppaloka, alam bentuk atau alam tempat tinggalnya Rupa-Brahma.
Alam ini bisa dicapai dengan mengheningkan cipta dalam samadi. Terdiri 16 alam
yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
a.) Pathama Jhana Bhumi,
yaitu ada 3 alam Jhana yang pertama :
a. Brahma Parisajja: alam
pengikut Brahma
b. Brahma Purohita: alam
para mentrinya Brahma
c. Maha Brahma: alam
Brahma yang besar.
b.) Dutiya Jhana Bhumi,
yaitu ada 3 alam Jhana yang kedua :
a. Brahma Parittabha:
alam para Brahma yang kurang bercahaya
b. Brahma Appamanabha:
alam para Brahma yang tidak terbatas auranya.
c. Brahma Abbhassana:
alam para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
c.) Tatiya Jhana Bhumi,
yaitu ada 3 alam Jhana yang ketiga :
a. Brahma Parittasubha:
alam para Brahma yang kurang auranya,
b. Brahma Appamanasubha: alam
para Brahma yang tidak terbatas auranya.
c. Brahma
Subhakinha: alam para Brahma yang auranya penuh dan tetap,
d.) Catutha Jhana Bhumi,
yaitu ada 7 alam Jhana yang keempat :
a. Brahma Vehapphala:
alam para Brahma yang besar pahalanya,
b. Brahma Asannasatta:
ialah alam para Brahma yang kosong dari kesadaran,
c. Brahma Aviha: alam
kediaman para makhluk yang tidak bergerak,
d. Brahma Atappa: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang suci,
e. Brahma Suddassa: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang indah,
f. Brahma Sudassi: alam
keidiaman para makhluk/Brahma yang terang,
g. Brahma Akanittha: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang luhur.[14]
Arupaloka (alam tanpa bentuk) adalah alam dewa yang tidak
berbadan. Ada 4 alam, yaitu:
a.
Akasanancayatana: keadaan konsepsi ruangan
yang tanpa batas,
b.
Vinnanancayatana: keadaan konsepsi kesadaran
yang tanpa batas,
c.
Akincannayatana: keadaan konspsi kekosongan,
d.
Nevasannanasannayatana: keadaan konsepsi bukan
pencerapan pun bukan tidak pencerapan.
Okasaloka adalah alam tempat.
Disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah
okasaloka tempat manusia hidup dan tempat makhluk lain.
Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa menurut kepercayaan agama
Budha, alam tersebut di atas bukan diciptakan Tuhan, dan Tuhan tidak
mengaturnya. Agama Budha selalu menghindari membicarakan persoalan hubungan
Tuhan atau alam mutlak dengan alam yang tidak mutlak Karena dikhawatirkan dapat
menimbulkan problem metafisika yang tidak habisnya. Segala sesuatu di alam ini
dikembalikan dalam rangkaian sebab akibat, berdasarkan aturan yang berlaku di
mana-mana (hukum). Hukum yang tetap, yang pasti, disebut Dharma yang mengatur
tata tertib alam semesta, tidak tercipta, kekal dan immanent.
Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang
dapat digolongkan menjadi lima:
a.
Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai
peristiwa-peristiwa energy.
b.
Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai
peristiwa-peristiwa biologis.
c.
Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur
bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
d.
Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai
peristiwa-peristiwa batiniah.
e.
Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur
hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.
Kelima hukum di atas meliputi semua gejala yang terjadi di alam
semesta yang memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh kekuatan di luar
hukum yang berlaku.[15]
C.
Hubungan Manusia
dengan Alam
Pandangan ajaran Buddha terhadap
makhluk hidup (manusia dan hewan)
Makhluk
hidup dalam ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak
termasuk. Makhluk hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok
kehidupan yang disebut lima khandha,
yang terdiri dari rupa (wujud
yang tampak/badan jasmani), vedana
(perasaan), sanna (pencerapan,mengingat),
sankhara (keadaan-keadaan
pikiran), vinnana (kesadaran).[16]
Lima khandha ini secara ringkas disebut jasmani dan batin (rupa dan nama).
Sang
Buddha menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat
tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicatta),[17] tidak
memuaskan atau menderita (dukkhata),
dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata).[18]
Jadi makhluk hidup-manusia dan hewan, sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai
sifat anicca, dukkha, dan anatta.
Kesalingterkaitan makhluk hidup dan
lingkungan (alam)
Sebagai
awal untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan
dijelaskan interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan
manusia dengan alam. Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan,
sehingga akan menjadi jelas interaksi manusia-hewan-alam.
Sejak
awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal
peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api.
Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal
api, manusia telah berburu sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban
selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan
hidup.
Interaksi
manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah
memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok
tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap.Selain itu manusia membutuhkan
makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan
tempat manusia hidup.
Hewan
dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber
makanan dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan
untuk berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran
atau bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.
Terlihat
dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan
hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya, saat ini interaksi tersebut malah
merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah, pencemaran
air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia
hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia
alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari
jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi
kepuasan materi.Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap
hewan.Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka
dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun
tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran
lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit,
polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara
menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi
pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia
sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan
hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.
Dari
uraian di atas jelas bahwa manusia, hewan dan alam (lingkungan) saling
mempengaruhi. Ketika salah satu bagian dari suatu sistem rusak, dampaknya akan
dirasakan oleh seluruh sistem tersebut, seperti rusaknya lingkungan akan
mengakibatkan kehancuran manusia pada akhirnya.
Kesalingterkaitan manusia-hewan-alam
menurut ajaran Buddha
Setelah
mengetahui sifat dan unsur dari alam ataupun makhluk hidup menurut kacamata
Buddhis, sekarang akan ditinjau interaksi beserta hubungannya yang saling timbal-balik.
Telah dijelaskan bahwa alam maupun makhluk hidup memiliki sifat selalu berubah
atau berproses. Susunan wujud (rupa)
manusia juga sama dengan alam menurut ajaran Buddha, yakni tersusun atas unsur
padat, cair, panas dan gerak. Satu hal yang membedakan makhluk hidup(manusia
dan hewan) dengan alam adalah manusia dan hewan tersusun selain oleh wujud (rupa) juga oleh batin (nama), sedangkan alam terbentuk hanya
dari rupa.
Ajaran
Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah
saling mempengaruhi dan berinteraksi.Semua yang terjadi berdasar hukum
sebab-akibat yang saling mempengaruhi.Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat
yang saling berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada. Setiap sebab
yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum geologi akan
mengakibatkan akibat yang dampaknya akan dirasakan kembali oleh manusia,
hewan, atau alam.[19]
Sang
Buddha menyadari hal tersebut, sehingga beliau mengajarkan kepada umat manusia
untuk menghargai hewan maupun tumbuhan. Dalam Pancasila buddhis aturan pertama sang Buddha mengajarkan manusia
untuk menghindari melukai/menyakiti makhluk hidup. Sang buddha mengajarkan
demikian dikarenakan beliau tahu perlunya manusia menghargai hewan demi menjaga
keseimbangan ekosistem. Beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai
tumbuh-tumbuhan.[20]
Jadi ajaran Buddha memandang bahwa manusia, hewan, dan alam saling mempengaruhi
dan berinteraksi.
Wujud kepedulian terhadap alam dalam
ajaran Buddha.
Walaupun hampir keseluruhan ajaran
Buddha menyoroti masalah terpenting manusia tentang bagaimana terbebas dari
penderitaan—yang dapat ditemukan pada teks-teks Pali,[21]
sang Buddha secara tersirat menyampaikan wujud kepedulian terhadap lingkungan
hidup manusia (alam). Telah disebutkan di atas bahwasanya sang Buddha melihat
segala fenomena kehidupan mengandung ciri terus berubah dengan proses
sebab-akibat yang saling mempengaruhi, dan beliau juga mengajarkan manusia
untuk menghargai hewan dan alam, maka dapat dikatakan bahwa sang Buddha
menyadari ketika seseorang menjadi tidak menghargai hewan atau alam, akibatnya
juga akan merugikan dirinya sendiri.
Sang Buddha memahami bahwa
penghargaan terhadap hewan dan lingkungan adalah penting. Beliau mengajarkan metta, sebagai wujud aktif dalam
menghargai hewan dan karuna,[22]sebagai
wujud nyata kepedulian terhadap hewan. Sang buddha selain melarang para Bhikkhu merusak tanaman dengan memetik,
juga melarang mengotori lingkungan.[23]
Itu artinya bahwa sang Buddha sangat memperhatikan lingkungan hidup dan alam
karena beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam.
Mungkin permasalahan lingkungan pada
zaman sang Buddha belum begitu mengkhawatirkan sehingga sedikit yang disinggung
oleh sang Buddha. Namun, dari ajaran-ajaran beliau secara tersirat beliau
mengajarkan manusia untuk menghargai lingkungan karena tanpa adanya lingkungan
yang baik, seseorang tidak dapat mencapai kesucian batin. Sang Buddha
mengajarkan manusia melihat ke dalam diri sendiri melalui meditasi, dan karena
diri sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta, maka ketika
seseorang dengan pandangan terang melihat dirinya, ia juga telah melihat
keseluruhan alam semesta yang saling berinteraksi dan mempengaruhi.
Kesimpulan
Buddha penciptaan Manusia seperti
yang dijelasakn Dalam kitab Mahaparinibbanasutta Buddha menerangkan proses
terjadinya kelahiran mahkluk-mahkluk. Terdapat empat system mekanik hukum
universal alam bekerja,Pertama, kelahiran melalui kandungan. Kedua,
melalui bertelur. Ketiga, melalui kelembapan. dan Keempat, melalui
spontan. Berbeda dengan alam budhis memandang bahwa alam semesta sangatlah luas
dan tentang penciptaannya hamper sama dengan konsep yang ada pada agama hindu.
Daftar Pustaka
Kebahagiaan
Dalam Dhamma. Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia. 1980.
Jadilah Pelita Ajaran Univeral Budha. Jakarta: Yayasan
Penerbit Karaniya dan Ehipassako Foundation. 2005.
Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988.
Dammananda, Sri. Keyakinan Umat Budha. Penerjemah:
Ida Kurniati. Jakarta: Yayasan Penerbit
Karaniya dan
Ehipassiko Foundation. 2005.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Budha. Jakarta:
PT. BPK Gunung Mulia. 1987.
Wuryanto,
Joko dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.). Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa.Jakarta:
CV. Dewi Kayana Abadi. 2003.
[3]
Jadilah Pelita Ajaran
Univeral Budha (Jakarta: Yayasan
Penerbit Karaniya dan Ehipassako Foundation, 2005), h.81
[4]Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.), Pengetahuan
Dharma untuk Mahasiswa (Jakarta: CV.
Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 69.
[6]
Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, penerjemah: Ida Kurniati (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya
dan Ehipassiko Foundation, 2005), h. 432.
[8] Jadilah Pelita Ajaran Univeral Budha (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan
Ehipassako Foundation, 2005), h.249
[13] Joko
Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.), Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa(Jakarta:
CV. Dewi Kayana Abadi, 2003), hal.53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar