Selasa, 16 Juni 2015

Konsep Budha dharma tentang manusia dengan alam

Pendahuluan
Manusia itu kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda / lima kelompok kegemaran yaitu:
1.      Rupakhandha adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan obyek seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh.
2.      Vedanakhandha adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan senang maupun sedih.
3.      Sannakhandha adalah yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
4.      Shankharakhandha adalah 50 bentuk pikiran seperti lobha (keserakahan), chanda(keinginan), sadha (keyakinan), viriya (kemauan keras) dan sebagainya.
5.      Vinnanakhandha adalah reaksi atau jawaban dari salah satu lima indra yang bersangkutan.[1]
Dari lima yang disebutkan diatas sering diringkas menjadi dua yaitu nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan, yang dapat digolongkan sebagai unsur-unsur rohani. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri dari empat unsur materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
Menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu, ia disebut sankhata dharmayang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang yang selalu dalam keadaan menjadi.
Hubungan antara Manusia dengan alam dalam agama buddha itu sangat keterkaitan antara keduanya, mengapa? Karena adanya alam maka terciptanya juga manusia karena tidak adanya manusia maka tidak adanya juga alam semesta ini. Dan ketika agama buddha itu sendiri dibicarakan atau dianggap sebagai agama / filsafat sudah terciptanya alam semesta ini dan manusianya itu sendiri.

A.    Penciptaan Manusia
Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat.
Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahiradalah sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya (perbuatannya) dikehidupan yang lalu[2].
Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
Pemikiran tentang adanya manusia itu unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, harus dapat diidentifikaikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, bermura hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri.[3]
Agama Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.[4]
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
a)      Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
b)      Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
c)      Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep surga maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, ataupun Hindu. Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus disadari dan dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai pemadaman, penghancurananavas, yaitu sifat-sifat induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada hal-hal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran kembali.
Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.[5]

B.     Penciptaan Alam
Hakikat kenyataan penciptaan alam adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia.
a)      Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.
b)      Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan maha kuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.
c)      Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita.”[6]
Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”.[7] Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.[8]
Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
a)      Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
b)      Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
c)      Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
d)     Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.[9]
Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha tidak pernah menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha.
Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya.
Dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang alam semesta ditujukan untuk memungkinkan manusia untuk menguasai demi kenyamanan material dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha mengajarkan bahwa tidak ada pengetahuan nyata apapun yang mampu membebaskan manusia dari rasa sakit.[10]
Dalam Visudha Maga 2204, loka tersebut digolong-golongkan atas shankharaloka, sattaloka, okasaloka. Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu, logam, emas. Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi, kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Dalam sattaloka ada 31 alam kehidupan yang dapat dikelompokkan menjadi:
1.      Kamaloka, yaitu alam kehidupan yang masih senang dengan nafsu birahi dan terikat oleh panca indranya.[11] Meliputi 11 alam yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a.       Apaya-Bumi, meliputi:
1)      Alam neraka
2)      Alam binatang
3)      Alam syetan
4)      Alam raksasa asuro.
b.      Kamasugatu-Bhumi, meliputi:
1)      Alam para Dewata yang menikmati ciptaan-ciptaan lain,
2)      Alam dewata yang menikmati ciptaannya sendiri,
3)      Alam dewata yang menikmati kesenangan,
4)       Alam dewata Yama,
5)       Alam 33 dewata
6)      Alam tempat Maharaja
7)      Jagat manusia[12]
Jadi Brahma tidak dapat dikatakan Tuhan yang Maha Esa karena masih berada dalam Samsaracakra yaitu lingkaran roda samsara yaitu Roda kelahiran dan kematian. Di dalam samsaracakra ada tiga alam yaitu alam Brahma tanpa wujud, alam Brahma berujud dan alam Kamaloka. Kamaloka terdiri dari Sorgaloka dan Bumi loka yaitu alam yang dihuni oleh para Dewa dan umat manusia. Brahmaloka maupun Kamaloka ini diciptakan, dilahirkan karena dialam-alam tersebut masih ada penderitaan, umur tua dan mati.[13]
Ruppaloka, alam bentuk atau alam tempat tinggalnya Rupa-Brahma. Alam ini bisa dicapai dengan mengheningkan cipta dalam samadi. Terdiri 16 alam yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
a.)    Pathama Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang pertama :
a.       Brahma Parisajja: alam pengikut Brahma
b.      Brahma Purohita: alam para mentrinya Brahma
c.       Maha Brahma: alam Brahma yang besar.
b.)    Dutiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang kedua :
a.       Brahma Parittabha: alam para Brahma yang kurang bercahaya
b.      Brahma Appamanabha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya.
c.       Brahma Abbhassana: alam para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
c.)    Tatiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang ketiga :
a.       Brahma Parittasubha: alam para Brahma yang kurang auranya,
b.      Brahma Appamanasubha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya.
c.        Brahma Subhakinha: alam para Brahma yang auranya penuh dan tetap,
d.)   Catutha Jhana Bhumi, yaitu ada 7 alam Jhana yang keempat :
a.       Brahma Vehapphala: alam para Brahma yang besar pahalanya,
b.      Brahma Asannasatta: ialah alam para Brahma yang kosong dari kesadaran,
c.       Brahma Aviha: alam kediaman para makhluk yang tidak bergerak,
d.      Brahma Atappa: alam kediaman para makhluk/Brahma yang suci,
e.       Brahma Suddassa: alam kediaman para makhluk/Brahma yang indah,
f.       Brahma Sudassi: alam keidiaman para makhluk/Brahma yang terang,
g.      Brahma Akanittha: alam kediaman para makhluk/Brahma yang luhur.[14]
Arupaloka (alam tanpa bentuk) adalah alam dewa yang tidak berbadan. Ada 4 alam, yaitu:
a.       Akasanancayatana: keadaan konsepsi ruangan yang tanpa batas,
b.      Vinnanancayatana: keadaan konsepsi kesadaran yang tanpa batas,
c.       Akincannayatana: keadaan konspsi kekosongan,
d.      Nevasannanasannayatana: keadaan konsepsi bukan pencerapan pun bukan tidak pencerapan.
Okasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah okasaloka tempat manusia hidup dan tempat makhluk lain.
Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa menurut kepercayaan agama Budha, alam tersebut di atas bukan diciptakan  Tuhan, dan Tuhan tidak mengaturnya. Agama Budha selalu menghindari membicarakan persoalan hubungan Tuhan atau alam mutlak dengan alam yang tidak mutlak Karena dikhawatirkan dapat menimbulkan problem metafisika yang tidak habisnya. Segala sesuatu di alam ini dikembalikan dalam rangkaian sebab akibat, berdasarkan aturan yang berlaku di mana-mana (hukum). Hukum yang tetap, yang pasti, disebut Dharma yang mengatur tata tertib alam semesta, tidak tercipta, kekal dan immanent.
Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang dapat digolongkan menjadi lima:
a.       Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa energy.
b.      Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa biologis.
c.        Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
d.      Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa batiniah.
e.       Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.
Kelima hukum di atas meliputi semua gejala yang terjadi di alam semesta yang memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh kekuatan di luar hukum yang berlaku.[15]

C.    Hubungan Manusia dengan Alam

Pandangan ajaran Buddha terhadap makhluk hidup (manusia dan hewan)
Makhluk hidup dalam ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak termasuk. Makhluk hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok kehidupan yang disebut lima khandha, yang terdiri dari rupa (wujud yang tampak/badan jasmani), vedana (perasaan), sanna (pencerapan,mengingat), sankhara (keadaan-keadaan pikiran), vinnana (kesadaran).[16] Lima khandha ini secara ringkas disebut jasmani dan batin (rupa dan nama).
Sang Buddha menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicatta),[17] tidak memuaskan atau menderita (dukkhata), dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata).[18] Jadi makhluk hidup-manusia dan hewan, sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai sifat anicca, dukkha, dan anatta.

Kesalingterkaitan makhluk hidup dan lingkungan (alam)
Sebagai awal untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan dijelaskan interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan manusia dengan alam. Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan, sehingga akan menjadi jelas interaksi manusia-hewan-alam.
Sejak awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal api, manusia telah berburu sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.
Interaksi manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap.Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.
Hewan dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber makanan dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan untuk berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran atau bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.
Terlihat dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya, saat ini interaksi tersebut malah merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah,  pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi kepuasan materi.Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap hewan.Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.
Dari uraian di atas jelas bahwa manusia, hewan dan alam (lingkungan) saling mempengaruhi. Ketika salah satu bagian dari suatu sistem rusak, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh sistem tersebut, seperti rusaknya lingkungan akan mengakibatkan kehancuran manusia pada akhirnya.

Kesalingterkaitan manusia-hewan-alam menurut ajaran Buddha
Setelah mengetahui sifat dan unsur dari alam ataupun makhluk hidup menurut kacamata Buddhis, sekarang akan ditinjau interaksi beserta hubungannya yang saling timbal-balik. Telah dijelaskan bahwa alam maupun makhluk hidup memiliki sifat selalu berubah atau berproses. Susunan wujud (rupa) manusia juga sama dengan alam menurut ajaran Buddha, yakni tersusun atas unsur padat, cair, panas dan gerak. Satu hal yang membedakan makhluk hidup(manusia dan hewan) dengan alam adalah manusia dan hewan tersusun selain oleh wujud (rupa) juga oleh batin (nama), sedangkan alam terbentuk hanya dari rupa.
Ajaran Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah saling mempengaruhi dan berinteraksi.Semua yang terjadi berdasar hukum sebab-akibat yang saling mempengaruhi.Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat yang saling berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada. Setiap sebab yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum geologi akan mengakibatkan akibat  yang dampaknya akan dirasakan kembali oleh manusia, hewan, atau alam.[19]
Sang Buddha menyadari hal tersebut, sehingga beliau mengajarkan kepada umat manusia untuk menghargai hewan maupun tumbuhan. Dalam Pancasila buddhis aturan pertama sang Buddha mengajarkan manusia untuk menghindari melukai/menyakiti makhluk hidup. Sang buddha mengajarkan demikian dikarenakan beliau tahu perlunya manusia menghargai hewan demi menjaga keseimbangan ekosistem. Beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai tumbuh-tumbuhan.[20] Jadi ajaran Buddha memandang bahwa manusia, hewan, dan alam saling mempengaruhi dan berinteraksi.

Wujud kepedulian terhadap alam dalam ajaran Buddha.
Walaupun hampir keseluruhan ajaran Buddha menyoroti masalah terpenting manusia tentang bagaimana terbebas dari penderitaan—yang dapat ditemukan pada teks-teks Pali,[21] sang Buddha secara tersirat menyampaikan wujud kepedulian terhadap lingkungan hidup manusia (alam). Telah disebutkan di atas bahwasanya sang Buddha melihat segala fenomena kehidupan mengandung ciri terus berubah dengan proses sebab-akibat yang saling mempengaruhi, dan beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai hewan dan alam, maka dapat dikatakan bahwa sang Buddha menyadari ketika seseorang menjadi tidak menghargai hewan atau alam, akibatnya juga akan merugikan dirinya sendiri.
Sang Buddha memahami bahwa penghargaan terhadap hewan dan lingkungan adalah penting. Beliau mengajarkan metta, sebagai wujud aktif dalam menghargai hewan dan karuna,[22]sebagai wujud nyata kepedulian terhadap hewan. Sang buddha selain melarang para Bhikkhu merusak tanaman dengan memetik, juga melarang mengotori lingkungan.[23] Itu artinya bahwa sang Buddha sangat memperhatikan lingkungan hidup dan alam karena beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam.
Mungkin permasalahan lingkungan pada zaman sang Buddha belum begitu mengkhawatirkan sehingga sedikit yang disinggung oleh sang Buddha. Namun, dari ajaran-ajaran beliau secara tersirat beliau mengajarkan manusia untuk menghargai lingkungan karena tanpa adanya lingkungan yang baik, seseorang tidak dapat mencapai kesucian batin. Sang Buddha mengajarkan manusia melihat ke dalam diri sendiri melalui meditasi, dan karena diri sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta, maka ketika seseorang dengan pandangan terang melihat dirinya, ia juga telah melihat keseluruhan alam semesta  yang saling berinteraksi dan mempengaruhi.

Kesimpulan
Buddha penciptaan Manusia seperti yang dijelasakn Dalam kitab Mahaparinibbanasutta Buddha menerangkan proses terjadinya kelahiran mahkluk-mahkluk. Terdapat empat system mekanik hukum universal alam bekerja,Pertama, kelahiran melalui kandungan. Kedua, melalui bertelur. Ketiga, melalui kelembapan. dan Keempat, melalui spontan. Berbeda dengan alam budhis memandang bahwa alam semesta sangatlah luas dan tentang penciptaannya hamper sama dengan konsep yang ada pada agama hindu.
           






Daftar Pustaka
Kebahagiaan Dalam Dhamma. Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia. 1980.
Jadilah Pelita Ajaran Univeral Budha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassako Foundation. 2005.
Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988.

Dammananda, Sri. Keyakinan Umat Budha. Penerjemah: Ida Kurniati. Jakarta: Yayasan Penerbit
Karaniya dan Ehipassiko Foundation. 2005.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 1987.

Wuryanto, Joko dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.).  Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa.Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi. 2003.




[1] Mukti Ali, Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h .124

[2] Kebahagiaan Dalam Dhamma (Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia, 1980), h.253
[3] Jadilah Pelita Ajaran Univeral Budha (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassako Foundation, 2005), h.81
[4]Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.), Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa    (Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 69.
[5] Mukti Ali, Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 126
[6] Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, penerjemah: Ida Kurniati (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassiko Foundation, 2005), h. 432.
[7] Kebahagiaan Dalam Dhamma (Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia, 1980), h.272
[8] Jadilah Pelita Ajaran Univeral Budha (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassako Foundation, 2005), h.249
[9] Kebahagiaan Dalam Dhamma (Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia, 1980), hal. 272
[10]Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, h. 439
[11] Kebahagiaan Dalam Dhamma (Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia, 1980), hal. 300
[12] Kebahagiaan dalam Dhamma, hal. 304
[13] Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.), Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa(Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003), hal.53.
[14]Kebahagiaan dalam Dhamma, hal. 305-308

[15] Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, hal.121
[16] Lihat Anguttara NikayaIV , 100 dan Samyutta Nikaya IV, 52.
[17] Lihat Atthasalini, 854.
[18] Lihat Vibhanga 1 & 1
[19] Lihat Anguttara NikayaIV , 100 dan Samyutta Nikaya IV, h.79
[20] Lihat Anguttara Nikaya III , 443.
[21] Lihat Samyutta Nikaya
[22] Vinaya Pitaka IV , 34.
[23] Tipitaka pali beserta komentarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar